Korupsi bagaikan penyakit AIDS yang terlanjur masuk ke dalam aliran
darah manusia. Begitulah fenomena tindak pidana korupsi yang terjadi di
Indonesia saat ini. Ahli hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU)
Yenti Garnasih menilai, kejahatan korupsi sudah sampai puncaknya di
Indonesia. Dengan sistem yang kuat, pelaksana lembaga di Indonesia, kata
Yenti, hampir mencapai titik kesempurnaan dalam mengemas kejahatan
korupsinya.
Kondisi ini sangat berbeda dengan Australia. Negara
yang menjadi satu tolak ukur kunjungan anggota DPR dalam memberantas
kejahatan tersebut. Australia, paparnya, pernah memiliki
pengalaman yang mirip dengan Indonesia saat ini. Bedanya, Australia,
masih memiliki lembaga yudikatif (lembaga peradilan) yang kokoh saat
itu. Sehingga, parlemen dan birokrasinya yang terkenal korup, akhirnya
dapat teratasi dengan konsistensi pemberantasan.
Sedangkan di
Indonesia, ujar Yenti, kejahatan korupsi telah terkemas secara baik di
antara tiga pilar demokrasi. Korupsi, bak kejahatan yang telah
teroganisasi dengan rapi dan dijaga keutuhannya.
"Tiga pilar
demokrasi (legislatif, eksekutif, yudikatif) sudah organize
(terorganisasi). Sudah sangat sinergis kejahatannya. Rusaknya birokrasi
diamini oleh parlemen, dan dijaga oleh yudikatifnya," ujar Yeni saat
menghadiri talkshow bertajuk Korupsi Politik Gerogoti Investasi Nasional' di Kemang, Jakarta Selatan, Minggu (25/3/2012). Karena
itu, lanjutnya, langkah DPR untuk meniru Negeri Kanguru tak tepat.
Sebab, sejarah kedua negara tersebut saat terserang wabah korupsi sangat
berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar