Ada rasa bangga mendengar nama
“Jakarta”. Ibu kota negara, tempat bertugas para menteri dan presiden,
tempat bekerja dari para wakil rakyat, tempat tinggal orang-orang kaya
di Indonesia, tempat beredarnya sebagian besar uang di negeri ini. Di
balik deretan sebutan itu, ternyata Jakarta memiliki potret yang
menyeramkan. Apakah itu?
Jakarta menjadi tempat tinggal orang
terkaya dan termiskin di Indonesia. Untuk sebutan terkaya, bukan hal
baru dan aneh lagi. Orang kaya memang pada umumnya memilih tempat
tinggal yang nyaman. Salah satunya adalah Jakarta.Sebutan termiskin kiranya tidak
salah dialamatkan kepada para pemulung dan pengemis di negeri ini. Ini
hanya beberapa potret yang kiranya mewakili penderitaan di negeri ini.
Pemulung di Stasiun Senen pada umumnya
bertempat tinggal di sekitar rel kereta api. Mereka mendirikan lapak ala
kadarnya yang kadang-kadang, dalam waktu tak terduga digusur oleh
petugas pol PP.
Tempat ini dipilih demi efektivitas
bekerja. Sebagian besar dari mereka adalah pencari rezeki di gerbong
kereta. Kereta yang datang dari daerah Jawa Tengah seperti Solo, juga
Yogyakarta, dan Malang, Jawa Timur menjadi target pemulung. Di
kereta-kereta ini, mereka biasanya memungut botol mimunan ringan seperti
aqua, mizon, dan sebagainya. Botol-botol ini dijual lagi untuk
memperoleh uang.
Selain botol, mereka juga biasanya
memungut koran bekas dan gardus yang digunakan sebagai alas tidur di
kereta. Gardus bekas dijual dengan harga mulai Rp. 5000 per kilo gram.
Sedangkan koran bekas biasanya dilipat lagi dengan rapi dan kemudian
dijual dengan harga sekitar Rp. 1000 sampai Rp. 2000 untuk dijadikan
kipas angin. Selain itu, kadang-kadang mereka mengambil makanan dan
minuman sisa untuk sarapan. Kereta biasanya datang mulai pukul 2 sampai
5/6 pagi.
Penulis pernah tinggal dengan mereka
pada awal tahun 2007 yang lalu. Rasanya jijik dan muak melihat
pekerjaan dan tempat tinggal mereka. Tetapi, beginilah kalau mau
merasakan kehidupan mereka secara langsung mesti tinggal dengan mereka.
Waktu 2 minggu menjadi waktu yang
menyenangkan pada saat itu. Meski kami bekerja cukup sulit, kami
mendapatkan uang yang cukup untuk membeli makanan sehari-hari. Penulis
bersama beberapa teman menginap di rumah salah seorang pemulung senior.
Praktisnya, kami bekerja sesuai ritme kehidupan mereka. Bangun
pagi-pagi, mulung, mandi, sarapan, istirahat, jual koran, nonton TV, tidur lagi pada malam harinya.
Kelihatannya hidup kami (saya dan
para pemulung) amat menderita karena tidak mempunyai pekerjaan tetap.
Tetapi, dalam penderitaan itu, kami menemukan kebahagiaan. Kami menjalin
relasi antar-pemulung. Kalau seorang mendapat rezeki, yang lainnya
kekurangan, kami biasanya bersolider dengan membagi rezeki itu.
Solidaritas inilah yang mengenang dalam benak saya.
Kami tidak hanya memulung, kalau
siang hari, kami menonton TV sambil membersihkan botol dan gelas aqua
untuk dijual lagi. Atau juga sambil merapikan kertas koran untuk dijual
kembali. Kalau ada rezeki banyak, kami juga membeli makanan spesial dari
rumah makan terdekat, lalu bergembira bersama dalam pesta
kecil-kecilan.
Pemulung sebenarnya mempunyai cukup rezeki dibandingkan para pengemis yang hanya meminta. Hanya saja-yang saya lihat-pemulung di Stasiun Senen pada umumnya, tidak mempunyai budaya menabung. Kalau hari ini dapat uang banyak, uang itu dihabiskan pada hari itu juga. Prinsip mereka praktis sekali, hidup untuk hari ini. Besok, akan ada rezeki lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar