Monumen Pancasila Sakti atau Monumen Pahlawan
Revolusi dibangun atas gagasan Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto.
Dibangun diatas tanah seluas 14,6 hektar. Monumen ini dibangun dengan
tujuan mengingat perjuangan para Pahlawan Revolusi yang berjuang hingga
mempertaruhkan nyawanya untuk mempertahankan ideologi negara Republik
Indonesia, Pancasila dari ancaman ideologi komunis.
Tempat ini dipilih karena diperkirakan PKI melakukan pembantaian terhadap 7 perwira TNI AD tidak jauh dari daerah tersebut yang dahulunya disebut sebagai desa Lubang Buaya.
Pada 1 Oktober 1965 pukul 02.30, pasukan penculik G.30 S/PKI sudah berkumpul di Lubang Buaya. Pasukan dengan nama Pasopati dipimpin Lettu Dul Arief. Pasukan penculik Men/Pangad Letjen TNI A. Yani memakai seragam Cakrabirawa tiba di sasaran pukul 04.00 dan berhasil melucuti regu pegawai. Mereka memasuki rumah dan bertemu dengan seorang putera Jendral A. Yani. Para penculik menyuruh anak tersebut untuk membangunkan ayahnya. Jendral A. Yani keluar dari kamar dengan berpakaian piyama. Setelah seorang penculik mengatakan bahwa bapa diminta segera menghadap Presiden. Beliau akan mandi dan berpakaian dulu. Setelah seorang anggota penculik mengatakan tidak perlu mandi dan mencuci muka pun tidak boleh. Melihat sikap yang kurang ajar itu, Jendral A. Yani marah dan menampar oknum tersebut. Beliau berbalik dan menutup pintu. Ketika itu Jenderal A. Yani dibrondong dengan senjata Thomson dan gugur seketika. Kemudian tubuh Jendral A. Yani yang berlumuran darah diseret ke luar rumah dan dilempar ke atas truk, lalu di bawa ke Lubang Buaya.
PKI membagi beberapa kelompok untuk melakukan penculikan terhadap sasarannya. Dan PKI juga bersepakat untuk membunuh siapa saja yang berani melawan atau membatalkan aksinya. Selain Letjen TNI A. Yani, korban kekejaman PKI lainnya adalah sebagai berikut: Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI MT. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI D.I. Penjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomihardjo dan Lettu Pierre Andries Tandean.
Dari ke tujuh perwira tersebut, empat diantaranya masih dalam keadaan hidup. Sesampainya dilubang buaya, ke empat perwira yang masih hidup disiksa beramai-ramai secara keji dan biadab oleh gerombolan G.30S/PKI kemudian dibunuh satu persatu. Di Lubang Buaya tubuh mereka dirusak dengan benda-benda tumpul dan senjata tajam. Sesudah disiksa para korban dilemparkan kedalam sumur tua yang sempit. Penyiksaan dan pembunuhan itu dilakukan oleh anggota Pemuda Rakyat (PR), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan ormas-ormas PKI lainnya.
Jenazah ke tujuh perwira tersebut kemudian dimasukan kedalam sebuah sumur tua dengan kedalaman 12 m dan berdiameter 75 cm dengan posisi kepala di bawah. Selanjutnya para gerombolan G.30S/PKI menutup sumur dengan timbunan batang-batang pisang, sampah secara berselang seling beberapa kali dan terakhir sumur tersebut ditutup dengan tanah diatasnya. Sebagai tipuan mereka menggali Lubang-lubang sehingga dapat menyesatkan bagi orang-orang yang akan mencari jenazah ke tujuh perwira tersebut. Berkat kerja keras dari satuan-satuan ABRI, jenazah-jenazah tersebut dapat diangkat pada tanggal 4 Oktober 1965 dalam keadaan rusak prah akibat penganiayaan secara kejam di luar batas-batas kemanusiaan.
Dari seluruh kejadian diatas, Tugu Pahlawan Revolusi memberikan pelajaran yang sangat bermakna kepada kita. Terletak 45 m sebelah utara cungkung sumur maut. Patung Pahlawan Revolusi berdiri dengan latar belakang sebuah dinding setinggi 17 m dengan hiasan patung Garuda Pancasila. Dinding berbentuk trapesium tersebut berdiri diatas landasan yang berukuran 17 x 17 m2 dengan tangan yang tingginya 7 anak tangga. Ketujuh Patung Pahlawan Revolusi berdiri berderet dengan setengah lingkaran dari barat ketimur yaitu: Patung Brigjen TNI Soetodjo Siswomiharjo, Brigjen TNI D.I Panjaitan, Mayjen TNI R. Soeprapto, Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI MT. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, dan Kapten Pierre Andries Tandean. Ketujuh patung berdiri pada alas yang merbentuk lengkung dengan hiasan relief yang melukiskan peristiwa prolog, kejadian dan penumpasan G.30.S/PKI oleh ABRI dan Rakyat.
Walaupun ketujuh Perwira TNI ini telah tiada, namun jasa dan pengorbanan yang dilakukan akan dikenang dan menjadi sejarah besar dari Bangsa Indonesia. Di bawah ketujuh patung Perwira ini, terdapat tulisan “WASPADA DAN MAWAS DIRI AGAR PERISTIWA SEMATJAM INI TIDAK TERULANG LAGI”, inilah suatu bentuk harapan bagi generasi muda saat ini. Generasi muda diharapkan tidak menyia-nyiakannya dan mampu mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Untuk itu tetap selalu waspada terhadap segala bentuk ancaman yang dapat mengganggu kedaulatan NKRI.
Tempat ini dipilih karena diperkirakan PKI melakukan pembantaian terhadap 7 perwira TNI AD tidak jauh dari daerah tersebut yang dahulunya disebut sebagai desa Lubang Buaya.
Pada 1 Oktober 1965 pukul 02.30, pasukan penculik G.30 S/PKI sudah berkumpul di Lubang Buaya. Pasukan dengan nama Pasopati dipimpin Lettu Dul Arief. Pasukan penculik Men/Pangad Letjen TNI A. Yani memakai seragam Cakrabirawa tiba di sasaran pukul 04.00 dan berhasil melucuti regu pegawai. Mereka memasuki rumah dan bertemu dengan seorang putera Jendral A. Yani. Para penculik menyuruh anak tersebut untuk membangunkan ayahnya. Jendral A. Yani keluar dari kamar dengan berpakaian piyama. Setelah seorang penculik mengatakan bahwa bapa diminta segera menghadap Presiden. Beliau akan mandi dan berpakaian dulu. Setelah seorang anggota penculik mengatakan tidak perlu mandi dan mencuci muka pun tidak boleh. Melihat sikap yang kurang ajar itu, Jendral A. Yani marah dan menampar oknum tersebut. Beliau berbalik dan menutup pintu. Ketika itu Jenderal A. Yani dibrondong dengan senjata Thomson dan gugur seketika. Kemudian tubuh Jendral A. Yani yang berlumuran darah diseret ke luar rumah dan dilempar ke atas truk, lalu di bawa ke Lubang Buaya.
PKI membagi beberapa kelompok untuk melakukan penculikan terhadap sasarannya. Dan PKI juga bersepakat untuk membunuh siapa saja yang berani melawan atau membatalkan aksinya. Selain Letjen TNI A. Yani, korban kekejaman PKI lainnya adalah sebagai berikut: Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI MT. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI D.I. Penjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomihardjo dan Lettu Pierre Andries Tandean.
Dari ke tujuh perwira tersebut, empat diantaranya masih dalam keadaan hidup. Sesampainya dilubang buaya, ke empat perwira yang masih hidup disiksa beramai-ramai secara keji dan biadab oleh gerombolan G.30S/PKI kemudian dibunuh satu persatu. Di Lubang Buaya tubuh mereka dirusak dengan benda-benda tumpul dan senjata tajam. Sesudah disiksa para korban dilemparkan kedalam sumur tua yang sempit. Penyiksaan dan pembunuhan itu dilakukan oleh anggota Pemuda Rakyat (PR), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan ormas-ormas PKI lainnya.
Jenazah ke tujuh perwira tersebut kemudian dimasukan kedalam sebuah sumur tua dengan kedalaman 12 m dan berdiameter 75 cm dengan posisi kepala di bawah. Selanjutnya para gerombolan G.30S/PKI menutup sumur dengan timbunan batang-batang pisang, sampah secara berselang seling beberapa kali dan terakhir sumur tersebut ditutup dengan tanah diatasnya. Sebagai tipuan mereka menggali Lubang-lubang sehingga dapat menyesatkan bagi orang-orang yang akan mencari jenazah ke tujuh perwira tersebut. Berkat kerja keras dari satuan-satuan ABRI, jenazah-jenazah tersebut dapat diangkat pada tanggal 4 Oktober 1965 dalam keadaan rusak prah akibat penganiayaan secara kejam di luar batas-batas kemanusiaan.
Dari seluruh kejadian diatas, Tugu Pahlawan Revolusi memberikan pelajaran yang sangat bermakna kepada kita. Terletak 45 m sebelah utara cungkung sumur maut. Patung Pahlawan Revolusi berdiri dengan latar belakang sebuah dinding setinggi 17 m dengan hiasan patung Garuda Pancasila. Dinding berbentuk trapesium tersebut berdiri diatas landasan yang berukuran 17 x 17 m2 dengan tangan yang tingginya 7 anak tangga. Ketujuh Patung Pahlawan Revolusi berdiri berderet dengan setengah lingkaran dari barat ketimur yaitu: Patung Brigjen TNI Soetodjo Siswomiharjo, Brigjen TNI D.I Panjaitan, Mayjen TNI R. Soeprapto, Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI MT. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, dan Kapten Pierre Andries Tandean. Ketujuh patung berdiri pada alas yang merbentuk lengkung dengan hiasan relief yang melukiskan peristiwa prolog, kejadian dan penumpasan G.30.S/PKI oleh ABRI dan Rakyat.
Walaupun ketujuh Perwira TNI ini telah tiada, namun jasa dan pengorbanan yang dilakukan akan dikenang dan menjadi sejarah besar dari Bangsa Indonesia. Di bawah ketujuh patung Perwira ini, terdapat tulisan “WASPADA DAN MAWAS DIRI AGAR PERISTIWA SEMATJAM INI TIDAK TERULANG LAGI”, inilah suatu bentuk harapan bagi generasi muda saat ini. Generasi muda diharapkan tidak menyia-nyiakannya dan mampu mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Untuk itu tetap selalu waspada terhadap segala bentuk ancaman yang dapat mengganggu kedaulatan NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar