Elias Pical. Petinju Indonesia pertama
yang meraih gelar juara dunia versi IBF di kelas Bantam Junior ini
terakhir terdengar kabarnya sekitar tahun 2005 lalu. Beritanya pun sama
sekali bukan kabar gembira. Ia tertangkap oleh polisi karena melakukan
transaksi narkoba di sebuah diskotik tempatnya bekerja sebagai satpam.
Lalu ada Tati Sumirah. Prestasi tertingginya ialah mengantarkan
tim bulu tangkis single putri, merebut Piala Uber pada 1975.
Pebulutangkis perempuan seangkatan Liem Swie King ini menjadi ratu. Ia
bukan hanya ratu dalam negeri, tapi juga ratu bulutangkis kelas dunia. Namun setelah menggantungkan raket pada 1981, kehidupannya
berubah. Selama 24 tahun Tati Sumirah bekerja di Apotek Ratu Mustika di
bilangan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan sebagai Kasir. Jika bukan
karena ajakan Rudi Hartono (pengusaha yang juga legenda bulutangkis
Indonesia itu) untuk bekerja di perusahaan Oli miliknya, mungkin sampai
sekarang profesi itu masih dilakoninya.
Lain halnya dengan Sukarnah. Atlet Indonesia yang pernah merebut
medali perunggu dalam cabang lempar lembing putri di Asian Games ke-3 di
Tokyo, tahun 1958 ini, sekarang hidup sebagai buruh tani musiman di
desanya, di Cisaga, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Rahman Kili-kili yang disebut-sebut sebagai petinju dengan bakat
terbesar di Indonesia, tahun 2007 lalu ditemukan mati mengenaskan dengan
cara gantung diri. Kabarnya, ia depresi karena lama menganggur setelah
tak lagi bertinju, dan terjerumus dalam narkoba. Belum lagi nama-nama
seperti Surya Lesmana (mantan atlet sepakbola), Budi setiawan (mantan
atlet taekwondo), dan Sunardi (mantan atlet maraton tahun 1950an). Jika
ditelusuri lebih jauh, kemungkinan besar daftar ini akan bertambah
panjang.
Namun layaknya hidup, ada
yang di atas, ada pula yang di bawah. Nasib mantan atlet tidak semuanya
semiris itu. Banyak juga diantara mereka yang bisa bertahan, bahkan
sukses di bidang yang sekarang digelutinya tanpa bergantung pada belas
kasihan pemerintah. Apalagi bergantung pada penghargaan publik atas
prestasi mereka. Pasangan suami istri Alan Budikusumah dan Susi Susanti
sukses dengan kerajaan bisnisnya sebagai produsen alat olahraga, dan
bisnis sport massagenya. Seperti yang disebut sebelumnya, Rudi Hartono
juga sukses menjadi pengusaha. Mulai dari mengembangkan peternakan sapi
perah, menjadi agen peralatan olahraga seperti Mikasa, Ascot, dan Yonex,
dan pernah memimpin perusahaan oli Top One. Ada lagi Haryanto Arbi yang
berkibar di bisnis sepatu olahraganya. Nasib yang jelas berbeda dengan
nama-nama yang disebutkan sebelumnya.
Lalu apa masalahnya? Kalau
mau mengarahkan telunjuk ini untuk menuding siapa yang salah, ah rasanya
itu tidak santun. Yang jelas ini adalah PR besar bagi banyak pihak.
Bukan hanya bagi Menpora dan KONI sebagai pihak yang berwenang, tapi
juga bagi para atlet sendiri. Arena sesungguhnya justru adalah kehidupan
di luar lapangan. Alangkah baiknya jika mereka tak hanya mempersiapkan
mental saat bertanding, tapi juga saat tidak lagi bertanding. Lupakan
janji surga para oknum pejabat, karena itu sudah lumrah diucapkan oleh
mereka yang hobinya memang berjanji. Terlena dengan pujian saat
dielu-elukan, dan meratapi nasib saat mulai dilupakan, jelas bukan
pilihan yang baik. Hanya mereka yang bermental juara sejati yang bisa
bertahan.
Mari berandai-andai. Bila
atlet-atlet muda sekarang dilatih untuk berprestasi, seharusnya mereka
juga dilatih untuk menyeimbangkannya dengan pendidikan. Jika saja para
atlet diperhatikan pendidikan formalnya, pasti tidak akan ada the next
Elias Pical yang hanya menjadi Satpam setelah berhenti menjadi petinju.
Konon ia bahkan tidak pernah lulus SD. Memang, pendidikan tinggi bukan
jaminan kesuksesan, tapi minimal para atlet punya bekal lain selain
kemampuan fisik mereka. Atau jika memberikan pendidikan formal yang
layak masih terlalu sulit bagi pihak yang berwenang, tentu memberikan
pembekalan ilmu berwirausaha bukan sesuatu yang sulit dilakukan. Berikan
mereka tidak hanya lecutan semangat untuk mengharumkan nama bangsa,
tapi juga semangat untuk bisa sukses ketika fisik mereka tak lagi mampu
melakukan itu. Ah…berandai-andai memang menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar