Kamis, 03 Mei 2012

Mereka Yang Terlupakan & Yang Bertahan

Habis manis sepah dibuang. Rasanya sering sekali mendengar peribahasa ini dikeluarkan ketika melihat nasib mantan-mantan atlet Indonesia yang pernah mengharumkan nama bangsa di arena-arena olahraga dunia. Bukan rahasia lagi jika nasib mereka setelah berhenti menjadi atlet sangat memprihatinkan. Terlupakan, dan hidup dalam kemiskinan.

Elias Pical. Petinju Indonesia pertama yang meraih gelar juara dunia versi IBF di kelas Bantam Junior ini terakhir terdengar kabarnya sekitar tahun 2005 lalu. Beritanya pun sama sekali bukan kabar gembira. Ia tertangkap oleh polisi karena melakukan transaksi narkoba di sebuah diskotik tempatnya bekerja sebagai satpam.






Lalu ada Tati Sumirah. Prestasi tertingginya ialah mengantarkan tim bulu tangkis single putri, merebut Piala Uber pada 1975. Pebulutangkis perempuan seangkatan Liem Swie King ini menjadi ratu. Ia bukan hanya ratu dalam negeri, tapi juga ratu bulutangkis kelas dunia. Namun setelah menggantungkan raket pada 1981, kehidupannya berubah. Selama 24 tahun Tati Sumirah bekerja di Apotek Ratu Mustika di bilangan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan sebagai Kasir. Jika bukan karena ajakan Rudi Hartono (pengusaha yang juga legenda bulutangkis Indonesia itu) untuk bekerja di perusahaan Oli miliknya, mungkin sampai sekarang profesi itu masih dilakoninya.

Lain halnya dengan Sukarnah. Atlet Indonesia yang pernah merebut medali perunggu dalam cabang lempar lembing putri di Asian Games ke-3 di Tokyo, tahun 1958 ini, sekarang hidup sebagai buruh tani musiman di desanya, di Cisaga, Tasikmalaya, Jawa Barat.







Rahman Kili-kili yang disebut-sebut sebagai petinju dengan bakat terbesar di Indonesia, tahun 2007 lalu ditemukan mati mengenaskan dengan cara gantung diri. Kabarnya, ia depresi karena lama menganggur setelah tak lagi bertinju, dan terjerumus dalam narkoba. Belum lagi nama-nama seperti Surya Lesmana (mantan atlet sepakbola), Budi setiawan (mantan atlet taekwondo), dan Sunardi (mantan atlet maraton tahun 1950an). Jika ditelusuri lebih jauh, kemungkinan besar daftar ini akan bertambah panjang.

Namun layaknya hidup, ada yang di atas, ada pula yang di bawah. Nasib mantan atlet tidak semuanya semiris itu. Banyak juga diantara mereka yang bisa bertahan, bahkan sukses di bidang yang sekarang digelutinya tanpa bergantung pada belas kasihan pemerintah. Apalagi bergantung pada penghargaan publik atas prestasi mereka. Pasangan suami istri Alan Budikusumah dan Susi Susanti sukses dengan kerajaan bisnisnya sebagai produsen alat olahraga, dan bisnis sport massagenya. Seperti yang disebut sebelumnya, Rudi Hartono juga sukses menjadi pengusaha. Mulai dari mengembangkan peternakan sapi perah, menjadi agen peralatan olahraga seperti Mikasa, Ascot, dan Yonex, dan pernah memimpin perusahaan oli Top One. Ada lagi Haryanto Arbi yang berkibar di bisnis sepatu olahraganya. Nasib yang jelas berbeda dengan nama-nama yang disebutkan sebelumnya.
Lalu apa masalahnya? Kalau mau mengarahkan telunjuk ini untuk menuding siapa yang salah, ah rasanya itu tidak santun. Yang jelas ini adalah PR besar bagi banyak pihak. Bukan hanya bagi Menpora dan KONI sebagai pihak yang berwenang, tapi juga bagi para atlet sendiri. Arena sesungguhnya justru adalah kehidupan di luar lapangan. Alangkah baiknya jika mereka tak hanya mempersiapkan mental saat bertanding, tapi juga saat tidak lagi bertanding. Lupakan janji surga para oknum pejabat, karena itu sudah lumrah diucapkan oleh mereka yang hobinya memang berjanji. Terlena dengan pujian saat dielu-elukan, dan meratapi nasib saat mulai dilupakan, jelas bukan pilihan yang baik. Hanya mereka yang bermental juara sejati yang bisa bertahan.
Mari berandai-andai. Bila atlet-atlet muda sekarang dilatih untuk berprestasi, seharusnya mereka juga dilatih untuk menyeimbangkannya dengan pendidikan. Jika saja para atlet diperhatikan pendidikan formalnya, pasti tidak akan ada the next Elias Pical yang hanya menjadi Satpam setelah berhenti menjadi petinju. Konon ia bahkan tidak pernah lulus SD. Memang, pendidikan tinggi bukan jaminan kesuksesan, tapi minimal para atlet punya bekal lain selain kemampuan fisik mereka. Atau jika memberikan pendidikan formal yang layak masih terlalu sulit bagi pihak yang berwenang, tentu memberikan pembekalan ilmu berwirausaha bukan sesuatu yang sulit dilakukan. Berikan mereka tidak hanya lecutan semangat untuk mengharumkan nama bangsa, tapi juga semangat untuk bisa sukses ketika fisik mereka tak lagi mampu melakukan itu. Ah…berandai-andai memang menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar