Jumat, 04 Mei 2012

Kemiskinan Tidak Pernah Mendarat dari Langit, Tetapi Mengudara dari Struktur Yang Membantu Di Bumi


HAMSIK hanyalah bagian dari ratusan --dan bahkan ribuan-- warga desa yang tinggal sekitar hutan, yang sejak awal tahun ini punya sumber nafkah baru, yakni bebalok.  Mereka umumnya penduduk asli yang tinggal di desa-desa yang berbatasan dengan kawasan penyangga bagian selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, terutama yang masuk Propinsi Jambi. Sejak bebalok pula, kegundahan hati mereka, akibat utang yang sudah menumpuk pada toke, sedikit terobati. 

Sejak krisis moneter melanda negeri ini, badainya memang menerpa masyarakat yang secara ekonomi berada di lapisan bawah.  Bagi mereka yang bermukim di sekitar hutan, badai itu pada awalnya belum begitu dahsyat, dan masih mampu bertahan dibanding saudara-saudaranya yang tinggal di kota.  Sebab, pada saat yang sama, harga hasil kebun mereka, berupa karet, juga ikut membaik.  Namun, tatkala harga komoditi ini jauh lebih murah dibanding harga beras, stabilitas ekonomi rumah tangga mereka pun ikut terganggu. Jika sebelumnya harga karet bisa sama, dan bahkan sempat lebih tinggi, dibanding beras --yakni Rp 2.500 perkilogram, mulai awal tahun ini harganya  jatuh hingga Rp 800.

Fluktuasi harga komoditi ini memang sudah biasa mereka alami.  Tapi itu dulu, saat masih ada alternatif sumber nafkah selain karet, yakni hasil hutan nonkayu seperti rotan, damar, jernang serta juga buah-buahan seperti durian, duku dan ambacang.  Saat harga turun, mereka tidak menyadap karet tapi mencari hasil hutan.  Kini, hutan-hutan yang ada di sekitar wilayah mereka tidak lagi mampu memberi nafkah. Jika pun ada, masyarakat tidak lagi leluasa masuk hutan, karena kawasan itu sudah dimiliki para pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH).  Karena itu, hasil hutan nonkayu yang bisa diperoleh pun tidak banyak dibanding yang memerlukan, sehingga yang diperoleh juga tidak memadai menopang kehidupan mereka.

Situasi yang dialami makin memburuk saat harga kebutuhan pokok mulai membubung.  Alternatif mereka untuk bisa bertahan  adalah dengan berutang kepada toke-toke yang selama ini menampung karet mereka. Meski sang “dewa penolong” sudah membantu, lama-kelamaan mereka tidak kuat juga, mengingat utang sudah menumpuk pula. 

Di saat "kebingungan" mencari sumber nafkah lain, mereka mulai melirik hutan, yang selama ini sudah dihindari, meski berada di kawasan tradisional mereka.  “Sekarang tidak ada lagi yang tertarik potong karet.  Semuanya ke hutan. Kalau tidak bebalok, bagaimana anak-anak kami makan.  Siapa yang akan membayar utang kami?” Hamsik menggambarkan alasan mengapa ia dan warga desa lainnya mulai berani mengambil kayu, yang di masa sebelumnya hanyalah impian belaka.

Alasan yang dikemukakan, memang, terkesan mengada-ada. Tapi itu memang kenyataan pahit yang mereka alami.  Untungnya, pada saat ini situasi politik memang begitu mendukung, yakni era reformasi. Ibarat jodoh, kebutuhan warga desa bagai gayung bersambut.  Pada saat yang sama "pemilik" hutan juga terkena "racun" reformasi.  Mereka tidak berani lagi melarang  warga mengambil kayu, meski di wilayah konsesi. Wajah petugas penjaga hutan, yang sebelumnya angker, sudah tampak ramah, sehingga ketika ada di antara warga yang mengambil kayu, justru tidak ada yang melarang. “…Saat ada orang desa yang mengambil kayu di hutan tidak dilarang, kami mencoba masuk pula.  Ternyata tidak dilarang. Sejak itu, kalau tidak salah setelah hari raya, kami ramai-ramai bebalok.  Sampai kini tidak ada larangan,” Haidar, warga Desa Muara Sekalo menceritakan awal mula ia dan sejumlah warga desa mengambil kayu dengan leluasa, meski kayu itu berada di kawasan hutan milik PT IFA. 
                                                                        
KISAH Hamsik dan kawan-kawan, yang secara ekonomi tidak mendapatkan manfaat dari hutan yang berada di wilayah mereka, merupakan sebuah gambaran betapa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan selama ini sering hanya menjadi “pelengkap penderita” pembangunan.  Rahmat alam yang layak mereka nikmati, ternyata begitu mudah berpindah tangan, yakni kepada segelintir orang, seperti pemilik modal, yang dengan leluasa bisa memanfaatkan kayu dan segala isi hutan.  Padahal, hutan merupakan bagian dari hidup mereka sehari-hari.

Hasil hutan memang termasuk primadona penyumbang terbesar dari segi penerimaan, setelah tekstil.  Karena itu, kawasan hutan pun diobral kepada pemilik modal, melalui pemberian izin HPH.  Agar tindakan itu bisa diterima, dicari dalil agar kebijakan mengambil hutan milik rakyat punya azas legalitas, yakni UUD 1945, terutama pasal 33.  Intinya, bumi air dan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  Dengan tameng itu pula, hutan yang semula merupakan hak adat masyarakat, lalu dieksploitasi secara besar-besaran.. 

Lalu, bagaimana dengan dalil digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat? Tidak ada jawaban yang layak dikemukakan di sini, jika ikut menyaksikan kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Saat sang primadona berganti lembaran rupiah dan dolar, yang menikmati justru segelintir orang, yakni para pemegang konsesi HPH.  Masyarakat tetap bergelut dengan kemiskinan, dan itu harus diterima tanpa protes, meski sebetulnya mereka berhak menuntut bahwa setiap hasil hutan yang dieksploitasi adalah haknya, yakni melalui HPH Bina Desa.  Artinya, pemilik HPH punya kewajiban meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan HPH.

Dari segi kebijakan, memang masyarakat sekitar hutan tidak pernah diabaikan.  Tapi kebijakan yang mewajibkan pemegang HPH memberdayakan ekonomi --pemerintah menyebut pembinaan-- masyarakat, hanya sebatas di atas kertas. Dalam praktek, kebijakan itu bagai jauh panggang dari api.  Desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan HPH justru makin tidak berdaya dengan kehadiran HPH.  Jika sebelumnya mereka bisa mengambil kayu untuk membangun rumah, saat ada HPH, justru mereka dikejar dan diburu jika ketahuan petugas.  "Masak untuk membangun rumah, kami tidak boleh mengambil kayu di wilayah kami sendiri," seorang warga Desa Suo-suo mengisahkan pengalaman mereka saat berhadapan dengan pemilik HPH.  "Ada warga kami yang tertangkap, kemudian dibawa ke pos penjagaan. Di sana ia disuruh mengganti kayu yang sudah ditebang kepada pihak perusahaan."

Dari pengakuan masyarakat, kehadiran berbagai perusahaan justru tidak membawa manfaat yang berarti buat mereka.  Seperti di Desa Lubuk Mandarsah, yang sejak pertengahan 1970-an sudah bercokol PT Sadarnila, dan kemudian digantikan PT Inhutani V, mulai akhir 1996.  Hingga kini, menurut pengakuan masyarakat, keberadaan kedua perusahaan itu tidak ada untungnya dibanding kerugian yang mereka alami, yakni kehilangan hak-hak tradisional mereka.  "Selama ini Inhutani hanya membantu Rp 1 juta untuk membangun masjid," tutur Djamali, Kepala Desa Lubuk Mandarsah.  Sementara desa ini justru kehilangan lahan sekitar 35.000 ha lahan, yang kini merupakan areal pengelolaan BUMN itu.

Begitu juga dengan Suo-suo, untuk menyebut contoh lain.  Di sana ada pemegang izin HPH, yakni PT  Dalek Hutani Esa, yang sudah menguasai lahan penduduk --melalui izin konsesi yang diberikan pemerintah-- sejak 1975.  Bantuan yang pernah diterima penduduk baru berupa beasiswa untuk 10 siswa sebesar Rp 10 ribu selama setahun, atau senilai Rp 100.000 perbulan.  Itupun baru dimulai sejak 7 bulan lalu, dan yang lancar baru selama tiga bulan pertama, alias Rp 300.000.  Jumlah ini tentu tidak berarti apa-apa dibanding kayu-kayu yang tiap hari diangkut ke luar desa. 

MELARANG warga bebalok memang dilematis.  Meski termasuk salah satu penyeban kerusakan hutan, tapi hanya melalui bebaloklah --untuk saat ini-- mereka berupaya untuk bertahan hidup. Adalah tidak adil jika untuk mempertahankan hutan, masyarakat dilarang mengambil kayu di tanah leluhur mereka, sementara pihak pemilik modal dibiarkan begitu saja. Hutan memang perlu dipertahankan demi anak cucu di masa datang.  Tapi yang juga diperlukan adalah kebijakan, yang sejak awal, memikirkan nasib mereka yang tinggal sekitar hutan, yang selama ini diabaikan. Kehadiran HPH, HTI, perkebunan, atau apapun namanya, seyogyanya memberi secercah harapan, bukan membuat kehidupan mereka menjadi sia-sia.

Apalagi saat cengkraman badai krismon yang sudah berlangsung hampir dua tahun.  Tidak ada upaya dari "penguasa lahan" untuk mengurangi beban hidup masyarakat.  Saat ini, bantuan --kalau boleh disebut-- yang mereka nikmati hanya beras murah, yang disalurkan pemerintah melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS).  Melalui program ini pemerintah menyalurkan beras dolog ke desa-desa, dan dijual dengan harga Rp 1000 per-kg.  Beras berkualitas rendah ini memang lebih murah dibanding jenis yang biasa dikonsumsi masyarakat  (jenis padi ladang), yang kini berharga Rp 3.500 perkilogram. 

Ironisnya, masyarakat tidak mampu –di desa-desa sekitar hutan mereka umumnya tidak mampu— hanya mendapat jatah membeli 5 kg untuk satu keluarga, atau hanya cukup untuk beberapa hari saja. “…Kami hanya boleh membeli 5 kilo.  Tidak boleh lebih dari itu.  Tapi itu cukup untuk makan beberapa hari saja,” tutur seorang ibu, warga Desa Muara Sekalo, yang mengaku sejak dua bulan belakangan tidak lagi gelisah..  “Kalau suami saya tidak bebalok, mungkin kami sekeluarga susah.  Sebab kami tidak ada uang untuk beli beras, lauk dan kebutuhan lain yang harganya sudah tidak terjangkau lagi," ungkapnya menambahkan.

Karena itu, kalau cap perusak hutan, melalui bebalok, masih dilekatkan pada masyarakat sekitar hutan, tentu tergantung dari sisi mana melihatnya.  Sebab, yang memotivasi mereka adalah perut yang lapar, bukan lembaran rupiah, apalagi dolar.  Bandingkan misalnya dengan eksploitasi hutan yang dilakukan perusahaan menengah dan besar. Dari data-data yang dikeluarkan Kanwil Departemen Kehutanan dan Perkebunan, yang paling banyak berperan menghabiskan hutan alam di Propinsi Jambi justru perusahaan-perusahaan itu.   Pada tahun 1997 saja, ada 9 perusahaan plywood, 101 sawmil, dan satu industri bubur kertas (pulp).  Semua perusahaan itu justru haus bahan baku kayu, apalagi pulp yang membutuhkan kayu jenis apapun, sehingga tidak memerlukan waktu lama untuk menghabiskan kayu di hutan alam sekalipun.

Meski dari industri pengolahan kayu kocek penerimaan pemerintah bertambah puluhan miliar rupiah, jumlahnya masih belum sebanding dengan kerusakan hutan yang terjadi (baca, Industri Pulp Datang, Hutan pun –Terancam—Hilang).  Dan lagi, yang diuntungkan dari kerusakan hutan bukan pula masyarakat, tetapi para pemilik modal, yang selama ini menikmati tanpa henti-hentinya.  Seandainya, hak pengelolaan hutan dikembalikan kepada masyarakat, yang selama ini mampu memanfaatkannya secara berkelanjutan, tentu persoalan kemiskinan dan kerusakaan hutan tidak perlu disesali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar