HAMSIK
hanyalah bagian dari ratusan --dan bahkan ribuan-- warga desa yang
tinggal sekitar hutan, yang sejak awal tahun ini punya sumber nafkah
baru, yakni bebalok. Mereka umumnya penduduk asli
yang tinggal di desa-desa yang berbatasan dengan kawasan penyangga
bagian selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, terutama yang masuk
Propinsi Jambi. Sejak bebalok pula, kegundahan hati mereka, akibat utang
yang sudah menumpuk pada toke, sedikit terobati.
Sejak krisis moneter melanda negeri ini, badainya memang menerpa masyarakat yang secara ekonomi berada di lapisan bawah. Bagi
mereka yang bermukim di sekitar hutan, badai itu pada awalnya belum
begitu dahsyat, dan masih mampu bertahan dibanding saudara-saudaranya
yang tinggal di kota. Sebab, pada saat yang sama, harga hasil kebun mereka, berupa karet, juga ikut membaik. Namun,
tatkala harga komoditi ini jauh lebih murah dibanding harga beras,
stabilitas ekonomi rumah tangga mereka pun ikut terganggu. Jika
sebelumnya harga karet bisa sama, dan bahkan sempat lebih tinggi,
dibanding beras --yakni Rp 2.500 perkilogram, mulai awal tahun ini
harganya jatuh hingga Rp 800.
Fluktuasi harga komoditi ini memang sudah biasa mereka alami. Tapi
itu dulu, saat masih ada alternatif sumber nafkah selain karet, yakni
hasil hutan nonkayu seperti rotan, damar, jernang serta juga buah-buahan
seperti durian, duku dan ambacang. Saat harga turun, mereka tidak menyadap karet tapi mencari hasil hutan. Kini,
hutan-hutan yang ada di sekitar wilayah mereka tidak lagi mampu memberi
nafkah. Jika pun ada, masyarakat tidak lagi leluasa masuk hutan, karena
kawasan itu sudah dimiliki para pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan
(HPH). Karena itu, hasil hutan nonkayu yang bisa
diperoleh pun tidak banyak dibanding yang memerlukan, sehingga yang
diperoleh juga tidak memadai menopang kehidupan mereka.
Situasi yang dialami makin memburuk saat harga kebutuhan pokok mulai membubung. Alternatif mereka untuk bisa bertahan adalah
dengan berutang kepada toke-toke yang selama ini menampung karet
mereka. Meski sang “dewa penolong” sudah membantu, lama-kelamaan mereka
tidak kuat juga, mengingat utang sudah menumpuk pula.
Di
saat "kebingungan" mencari sumber nafkah lain, mereka mulai melirik
hutan, yang selama ini sudah dihindari, meski berada di kawasan
tradisional mereka. “Sekarang tidak ada lagi yang tertarik potong karet. Semuanya ke hutan. Kalau tidak bebalok, bagaimana anak-anak kami makan. Siapa
yang akan membayar utang kami?” Hamsik menggambarkan alasan mengapa ia
dan warga desa lainnya mulai berani mengambil kayu, yang di masa
sebelumnya hanyalah impian belaka.
Alasan yang dikemukakan, memang, terkesan mengada-ada. Tapi itu memang kenyataan pahit yang mereka alami. Untungnya,
pada saat ini situasi politik memang begitu mendukung, yakni era
reformasi. Ibarat jodoh, kebutuhan warga desa bagai gayung bersambut. Pada saat yang sama "pemilik" hutan juga terkena "racun" reformasi. Mereka tidak berani lagi melarang warga
mengambil kayu, meski di wilayah konsesi. Wajah petugas penjaga hutan,
yang sebelumnya angker, sudah tampak ramah, sehingga ketika ada di
antara warga yang mengambil kayu, justru tidak ada yang melarang. “…Saat
ada orang desa yang mengambil kayu di hutan tidak dilarang, kami
mencoba masuk pula. Ternyata tidak dilarang. Sejak itu, kalau tidak salah setelah hari raya, kami ramai-ramai bebalok. Sampai
kini tidak ada larangan,” Haidar, warga Desa Muara Sekalo menceritakan
awal mula ia dan sejumlah warga desa mengambil kayu dengan leluasa,
meski kayu itu berada di kawasan hutan milik PT IFA.
KISAH
Hamsik dan kawan-kawan, yang secara ekonomi tidak mendapatkan manfaat
dari hutan yang berada di wilayah mereka, merupakan sebuah gambaran
betapa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan selama ini sering hanya
menjadi “pelengkap penderita” pembangunan. Rahmat
alam yang layak mereka nikmati, ternyata begitu mudah berpindah tangan,
yakni kepada segelintir orang, seperti pemilik modal, yang dengan
leluasa bisa memanfaatkan kayu dan segala isi hutan. Padahal, hutan merupakan bagian dari hidup mereka sehari-hari.
Hasil hutan memang termasuk primadona penyumbang terbesar dari segi penerimaan, setelah tekstil. Karena itu, kawasan hutan pun diobral kepada pemilik modal, melalui pemberian izin HPH. Agar
tindakan itu bisa diterima, dicari dalil agar kebijakan mengambil hutan
milik rakyat punya azas legalitas, yakni UUD 1945, terutama pasal 33. Intinya, bumi air dan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan tameng itu pula, hutan yang semula merupakan hak adat masyarakat, lalu dieksploitasi secara besar-besaran..
Lalu,
bagaimana dengan dalil digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat? Tidak ada jawaban yang layak dikemukakan di sini, jika ikut
menyaksikan kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Saat
sang primadona berganti lembaran rupiah dan dolar, yang menikmati justru
segelintir orang, yakni para pemegang konsesi HPH. Masyarakat
tetap bergelut dengan kemiskinan, dan itu harus diterima tanpa protes,
meski sebetulnya mereka berhak menuntut bahwa setiap hasil hutan yang
dieksploitasi adalah haknya, yakni melalui HPH Bina Desa. Artinya, pemilik HPH punya kewajiban meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan HPH.
Dari segi kebijakan, memang masyarakat sekitar hutan tidak pernah diabaikan. Tapi
kebijakan yang mewajibkan pemegang HPH memberdayakan ekonomi
--pemerintah menyebut pembinaan-- masyarakat, hanya sebatas di atas
kertas. Dalam praktek, kebijakan itu bagai jauh panggang dari api. Desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan HPH justru makin tidak berdaya dengan kehadiran HPH. Jika
sebelumnya mereka bisa mengambil kayu untuk membangun rumah, saat ada
HPH, justru mereka dikejar dan diburu jika ketahuan petugas. "Masak
untuk membangun rumah, kami tidak boleh mengambil kayu di wilayah kami
sendiri," seorang warga Desa Suo-suo mengisahkan pengalaman mereka saat
berhadapan dengan pemilik HPH. "Ada warga kami
yang tertangkap, kemudian dibawa ke pos penjagaan. Di sana ia disuruh
mengganti kayu yang sudah ditebang kepada pihak perusahaan."
Dari pengakuan masyarakat, kehadiran berbagai perusahaan justru tidak membawa manfaat yang berarti buat mereka. Seperti
di Desa Lubuk Mandarsah, yang sejak pertengahan 1970-an sudah bercokol
PT Sadarnila, dan kemudian digantikan PT Inhutani V, mulai akhir 1996. Hingga
kini, menurut pengakuan masyarakat, keberadaan kedua perusahaan itu
tidak ada untungnya dibanding kerugian yang mereka alami, yakni
kehilangan hak-hak tradisional mereka. "Selama ini Inhutani hanya membantu Rp 1 juta untuk membangun masjid," tutur Djamali, Kepala Desa Lubuk Mandarsah. Sementara desa ini justru kehilangan lahan sekitar 35.000 ha lahan, yang kini merupakan areal pengelolaan BUMN itu.
Begitu juga dengan Suo-suo, untuk menyebut contoh lain. Di sana ada pemegang izin HPH, yakni PT Dalek Hutani Esa, yang sudah menguasai lahan penduduk --melalui izin konsesi yang diberikan pemerintah-- sejak 1975. Bantuan
yang pernah diterima penduduk baru berupa beasiswa untuk 10 siswa
sebesar Rp 10 ribu selama setahun, atau senilai Rp 100.000 perbulan. Itupun baru dimulai sejak 7 bulan lalu, dan yang lancar baru selama tiga bulan pertama, alias Rp 300.000. Jumlah ini tentu tidak berarti apa-apa dibanding kayu-kayu yang tiap hari diangkut ke luar desa.
MELARANG warga bebalok memang dilematis. Meski
termasuk salah satu penyeban kerusakan hutan, tapi hanya melalui
bebaloklah --untuk saat ini-- mereka berupaya untuk bertahan hidup.
Adalah tidak adil jika untuk mempertahankan hutan, masyarakat dilarang
mengambil kayu di tanah leluhur mereka, sementara pihak pemilik modal
dibiarkan begitu saja. Hutan memang perlu dipertahankan demi anak cucu
di masa datang. Tapi yang juga diperlukan adalah
kebijakan, yang sejak awal, memikirkan nasib mereka yang tinggal sekitar
hutan, yang selama ini diabaikan. Kehadiran HPH, HTI, perkebunan, atau
apapun namanya, seyogyanya memberi secercah harapan, bukan membuat
kehidupan mereka menjadi sia-sia.
Apalagi saat cengkraman badai krismon yang sudah berlangsung hampir dua tahun. Tidak ada upaya dari "penguasa lahan" untuk mengurangi beban hidup masyarakat. Saat
ini, bantuan --kalau boleh disebut-- yang mereka nikmati hanya beras
murah, yang disalurkan pemerintah melalui program Jaring Pengaman Sosial
(JPS). Melalui program ini pemerintah menyalurkan beras dolog ke desa-desa, dan dijual dengan harga Rp 1000 per-kg. Beras berkualitas rendah ini memang lebih murah dibanding jenis yang biasa dikonsumsi masyarakat (jenis padi ladang), yang kini berharga Rp 3.500 perkilogram.
Ironisnya,
masyarakat tidak mampu –di desa-desa sekitar hutan mereka umumnya tidak
mampu— hanya mendapat jatah membeli 5 kg untuk satu keluarga, atau
hanya cukup untuk beberapa hari saja. “…Kami hanya boleh membeli 5 kilo. Tidak boleh lebih dari itu. Tapi
itu cukup untuk makan beberapa hari saja,” tutur seorang ibu, warga
Desa Muara Sekalo, yang mengaku sejak dua bulan belakangan tidak lagi
gelisah.. “Kalau suami saya tidak bebalok, mungkin kami sekeluarga susah. Sebab
kami tidak ada uang untuk beli beras, lauk dan kebutuhan lain yang
harganya sudah tidak terjangkau lagi," ungkapnya menambahkan.
Karena
itu, kalau cap perusak hutan, melalui bebalok, masih dilekatkan pada
masyarakat sekitar hutan, tentu tergantung dari sisi mana melihatnya. Sebab, yang memotivasi mereka adalah perut yang lapar, bukan lembaran rupiah, apalagi dolar. Bandingkan
misalnya dengan eksploitasi hutan yang dilakukan perusahaan menengah
dan besar. Dari data-data yang dikeluarkan Kanwil Departemen Kehutanan
dan Perkebunan, yang paling banyak berperan menghabiskan hutan alam di
Propinsi Jambi justru perusahaan-perusahaan itu. Pada tahun 1997 saja, ada 9 perusahaan plywood, 101 sawmil, dan satu industri bubur kertas (pulp). Semua
perusahaan itu justru haus bahan baku kayu, apalagi pulp yang
membutuhkan kayu jenis apapun, sehingga tidak memerlukan waktu lama
untuk menghabiskan kayu di hutan alam sekalipun.
Meski
dari industri pengolahan kayu kocek penerimaan pemerintah bertambah
puluhan miliar rupiah, jumlahnya masih belum sebanding dengan kerusakan
hutan yang terjadi (baca, Industri Pulp Datang, Hutan pun –Terancam—Hilang). Dan
lagi, yang diuntungkan dari kerusakan hutan bukan pula masyarakat,
tetapi para pemilik modal, yang selama ini menikmati tanpa
henti-hentinya. Seandainya, hak pengelolaan hutan
dikembalikan kepada masyarakat, yang selama ini mampu memanfaatkannya
secara berkelanjutan, tentu persoalan kemiskinan dan kerusakaan hutan
tidak perlu disesali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar